Sumber gambar : Reading Session – Subjectivity, Psyche, and Agency – The Work of Judith Butler

ARTICLE

Penulis : Zakiyatul Mufidah, PhD Student in Gender and Religion, University of Birmingham

Konsep gender dan seksualitas menjadi bagian inti saat mendiskusikan teori-teori filsafat tentang humaniora dan juga feminisme. Judith Butler memberi gebrakan terhadap cara pandang gender yang berbasis spektrum. Psyche, subjectivity dan performativity merupakan elemen dasar untuk memahami pemikiran Butler yang menggabungkan beberapa pendekatan untuk memahami bahwa peranan gender tersebut dikonstruksi oleh kekuatan dan wacana dominan dalam masyarakat.

Pemikiran Butler menjadi sangat layak untuk dikaji oleh para akademisi, peneliti dan feminis sebagai upaya memahami dan menelaah konsep dasar gender dan seksualitas. Hal ini penting karena pemahaman terhadap gender dan feminisme seringkali hanya dipahami sebagai perjuangan mencari kesetaraan. Padahal, karya Butler memberi pemahaman bahwa perbedaan konteks akan melahirkan pola konstruksi gender yang berbeda pula. Misalnya, penggunaan istilah atau pengulangan kebiasaan seperti cara berpakaian, cara berinteraksi, serta lainnya yang membentuk pola pikir masyarakat terhadap peran gender, atau disebut performativity. Masyarakat sendiri terdiri dari banyak elemen sehingga setiap orang atau subyek dalam masyarakat tersebut memiliki penafsirannya sendiri terhadap peran gender. Seringkali penafsiran tersebut sangat fleksibel, terutama jika seseorang atau sebuah institusi melakukan perenungan tentang peran sosialnya sebagai bagian dari agency atau sebuah entitas yang memiliki otonomi. Sedangkan penafsiran tersebut adalah bagian dari subjectivity atau kondisi dimana seseorang tumbuh dan berinteraksi sosial, yang mana hal tersebut akan memengaruhi pandangannya terhadap gender.

Dalam reading session dan diskusi yang diselenggarakan oleh klaster keilmuan Doctrine, UK:  feminism and development pada hari Sabtu, 4 Maret 2023 lalu menghadirkan mahasiswa doktoral dalam bidang Media, Culture and Arts Industry, King’s College London, Gilang Desti Parahita. Ia mengangkat topik: Subject, Psyche, and Agency: The work of Judith Butler. Gilang menceritakan proses penelitian dan bimbingan dengan supervisornya yang kemudian “membuka” jalan baginya untuk semakin mendalami teori-teori filsafat terutama teori feminisme yang diusung oleh tokoh feminis kontemporer Amerika, Judith Butler.

Bermula dari ketertarikannya melakukan riset tentang subjectivity dan agency di media, Gilang mulai menjabarkan konsep subjectivity yang terbentuk dalam teori performativity. Bahwa, manusia sebagai subject akan menjadi intelligible atau hadir, nyata, eksis, dan direkognisi keberadaanya sebagai subyek sosial yang valid jika ada yang melihat, menilai dan melabeli tubuh dan fisik biologisnya (Butler, 1990). Gilang melihat bahwa konsep subjektivitas ini adalah inti dari ilmu filsafat. Secara lebih mendalam, konsep subject kemudian terbagi menjadi dua; yaitu subject of, dimana individu sebagai subjek ini mempunyai kuasa atau power, dan yang kedua adalah, subject to dimana individu sebagai subjek dibatasi oleh kuasa itu sendiri atau power.

Meskipun secara alamiah, pembagian gender ada dua jenis gender yaitu laki-laki dan perempuan, namun Butler berusaha mendekonstruksi hal ini dengan mempertanyakan: seseorang yang terlahir dengan ciri keduanya (laki-laki dan perempuan) atau disebut intersex, apakah mereka tidak bisa dilabeli dan disebut sebagai subjek? Dan sebagai manusia utuh berdasarkan kategorisasi gender tadi?. Atas dasar inilah Butler meyakini bahwa gender tidak pernah natural, tetapi merupakan konstruksi sosial seluruhnya, yang bahkan sudah dilekatkan sebelum seorang individu dilahirkan. Maka, gender dan subjectivity seharusnya didefinisikan dan dipahami sebagai bentuk performance (act out) seorang individu sehingga mereka menjadi intelligible (terlihat) dan juga  merupakan bentuk performativity.

Konsep performativity Butler ini memang sangat abstrak dan kurang spesifik secara sosial (Mac Nay, 1999), namun tanpa bermaksud menyederhanakan,  performativity dapat diartikan sebagai proses pembentukan subjectivity/subjektivitas seseorang dari hasil proses panjang. Yaitu adanya citationality dan iterability. Artinya, pengutipan, penyebutan dan penerapan yang terus diulang ulang dan berlangsung secara terus menerus. Contohnya, seorang bayi yang baru saja lahir disebut bayi perempuan oleh dokter, lalu disebut perempuan oleh orang tua, begitu juga oleh keluarga dan diteruskan kepada masyarakat secara terus menerus hingga akhirnya subjektifitas bayi ini terbentuk melalui performativity yang dilekatkan kepadanya. Oleh karena itu, Butler meyakini bahwa gender tidak pernah natural, tetapi merupakan bentuk performativity. Kemudian, gender performativity inipun sangat tergantung pada subyek yang ada pada saat itu, dan subyek sangat dipengaruhi pula oleh diskursusnya (situasi, kondisi, zaman, konflik, dinamika) pada saat itu. Dengan menggunakan konsep Foucault, Butler melihat bahwa subjectivity yang terbentuk melalui gender performativity ini bukan sesuatu yang natural, maka bisa “dibongkar” atau menurut istilah Derrida di “resignifikasi”.

Diskusi teori ini sangat hangat dan menarik, bahkan interaksi dengan para peserta yang intens dan dinamis tidak membuat peserta beranjak dari ruang virtual meskipun diskusi sudah berlangsung selama lebih dari 2 jam. Beberapa pertanyaan dan tanggapan yang diajukan oleh peserta mulai dari bagaimana mengkorelasikan teori Butler dengan teori sosial kontemporer lainya di bidang media, komunikasi atau pemerintahan misalnya, lalu bagaimana mengkontekstualisasikan pemikiran ini dalam ranah yang lebih realistis/pragmatis serta bagaimana ide pemikiran tokoh ini secara strategis dapat mempengaruhi wajah gerakan feminisme global maupun nasional kedepan.

Diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa mendiskusikan konsep teori seperti ini sangat bermanfaat karena memaksa kita untuk mampu berpikir kritis dan rasional serta dapat mengkritisi isu-isu sosial secara lebih komprehensif; karena kita berusaha melihat segala sesuatu pada aspek filosofisnya. Kedepannya, kajian-kajian teori seperti ini diharapkan mampu membawa kontribusi positif dan nyata terhadap arah kebijakan pemerintah terkait isu perempuan dan gender. Bagaimana lembaga negara dapat membuat kebijakan yang tidak bias gender, pro terhadap kesetaraan dan fokus pada kebutuhan riil perempuan. Namun demikian, diskusi tetap diakhiri dengan menyisakan pertanyaan yang harus dijawab oleh para peneliti di bidang gender dan feminisme yaitu: akankan pemikiran-pemikiran dan teori-teori besar ini dapat membawa dampak yang signifikan pada upaya pencapaian agenda gerakan feminisme yaitu tercapainya kesejahteraan dan kesetaraan gender?.

Referensi:

Butler, Judith. P. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Routledge.

Mac Nay, L. (1999). Subject, Psyche, and Agency: The Work of Judith Butler. Sage, 16(2), 175–193.

***

Keterangan:

Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2023-02-9-Articles. Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.