ARTICLE

Penulis: Ayu Kusumastuti

Mahasiswi Doktoral bidang Sosiologi dan Kebijakan Sosial, University of Leeds

 

Lindungi PMI (Pekerja Migran Indonesia) dari ujung rambut sampai ujung kaki (Presiden RI Joko Widodo).  Begitulah slogan pada poster yang terpampang di gedung Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Tulisan ini merupakan refleksi mengenai migrasi tenaga kerja musiman pertanian asal Indonesia menuju Britania Raya/United of Kingdom. Beragam permasalahan kerap timbul bagi para pekerja mulai dari terjerat hutang sebelum keberangkatan, keberangkatan yang terlambat, pekerja yang terpaksa kabur hingga dilarangnya agen perekrut migran Indonesia asal Britania Raya untuk beroperasi. Hal ini merupakan implikasi dari kebijakan British Exit dan akumulasi infrastruktur migrasi Indonesia-Britania Raya yang belum mampu memfasilitasi migrasi tenaga kerja yang aman. Sangat menarik untuk menilik kembali sejauh mana perlindungan negara kepada pekerja migran Indonesia tujuan Britania Raya di tahun 2022.

Pekerja Indonesia di Perkebunan Musiman di Britania Raya: Seasonal Workers Visa

Negara melalui Menteri Ketenagakerjaan memberikan izin bagi perusahaan untuk beroperasi dalam memberangkatkan calon pekerja migran, yang disebut juga P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia). Di sisi lain, negara juga memfasilitasi keamanan migrasi melalui pengawasan dari BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), merujuk pada skema Private to Private yang melibatkan jasa pengerah swasta di Indonesia dan di Britania Raya. Umumnya, pekerja migran musiman ini mendaftar visa temporary work untuk seasonal worker visa yang berlaku untuk masa kerja selama 6 bulan dalam kontrak selama dua tahun dengan penempatan di perkebunan strawberi, anggur, apel and raspberry melalui agen yang telah tersertifikasi oleh negara.

Dalam hasil penelitian United of Kingdom Research of Innovation/Economic and Social Research Council dijabarkan mengenai asal pekerja migran yang dirangkum berdasarkan dari data statistik pemerintahan Britania Raya. Visa pekerja musiman adalah izin bekerja bagi pekerja asing bidang holtikultura yang mulai disosialisasikan ulang di tahun 2019 dan membuka hingga 30.000 visa di tahun 2021. Akibat keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa dan kebijakan zero mobility selama COVID 19, kebutuhan tenaga kerja bidang pertanian yang biasanya diisi warga Uni Eropa menjadi terbatas. Pada tahun 2019, pekerja musiman banyak berasal dari Ukraina dan di tahun 2020, selain Ukraina, pekerja musiman banyak berasal dari negara Maldova, Belarusia, Rusia, dan Georgia serta negara non-Uni Eropa seperti dari Afrika Selatan, Filipina, Kamerun, Tajikistan, dan Barbados sedangkan pekerja Indonesia sendiri mulai masuk di tahun 2021-2022.

Namun sayangnya, dalam beberapa bulan terakhir, pengiriman tenaga kerja ini mengalami masalah. Biaya pemberangkatan yang disinyalir sangat memberatkan pekerja (overcharging) menempatkan mereka dalam belitan hutang sebelum berangkat. Mereka diwajibkan membayar biaya transportasi, medical checkup, orientasi pemberangkatan, asuransi kesehatan, handling bandara hingga sertifikasi farm yang sangat besar dimana mereka tidak pernah mendapat pelatihan tersebut. Besaran dan rincian biaya ini didistribusikan untuk para pihak-pihak yang berkepentingan seperti yang disebutkan oleh Nicole Constable dalam bukunya, ‘Passport Entanglements: Protection, Care, and Precarious Migration’ yang menyebutkan bahwa infrastruktur migrasi pekerja Indonesia sebenarnya dibangun dengan sangat menguntungkan serta dapat mempertahankankan industri migrasi. Keterletakan dan jalinan yang berkelindan antar pihak yang mengedepankan keuntungan pribadi namun kurang memihak pada pekerja migran inilah yang disebut dengan Entanglements. Situasi inilah yang kemudian menghasilkan praktik overcharging.

Selain itu, akibat kedatangan pekerja di luar masa panen, pemberi kerja hanya memberikan waktu kerja dua bulan hingga tidak sama sekali. Hal ini berimbas pada pekerja hilangnya pendapatan untuk membayarkan hutang sebelum keberangkatan. Pekerja meminta perlindungan diplomatik kepada kedutaan Indonesia di London, Inggris.  Status pekerja migran Indonesia berada dalam limbo kebijakan Brexit, sebuah kondisi tidak menentu dalam proses pengiriman tenaga kerja migran.

Munculnya berbagai masalah ini semakin menguatkan jika perusahaan swasta yang legal atau resmi sekalipun tidak menjamin keamanan migrasi. Pengaturan proses migrasi ini memberikan keleluasaan yang besar bagi swasta dibanding pemerintah sehingga ketika terjadi kecurangan, negara tidak dapat mengambil kendali utama. Negara sendiri bukan aktor utama dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Britania Raya. Pengiriman ini atas permintaan perusahaan perekrut asal Britania Raya yang langsung berkorespondensi dengan agen perekrut swasta di Indonesia. Indonesia dipilih sebagai negara yang dapat mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian pasca COVID19 dan Post Brexit. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya kerja yang melimpah dan murah. Saat ini, forum pekerja migran Indonesia menuntut keberangkatan pada musim panas 2023 sesuai kontrak yang dijanjikan. Namun, berbagai pemangku kepentingan menilai akan terlalu rentan bagi mereka dan menghentikan sementara pemberangkatan di tahun ini hingga terdapat kejelasan untuk menjamin hak para pekerja. Dalam hal ini, urgensi untuk melakukan langkah diplomasi bagi kedua negara menjadi sangat mendesak. Selain itu, pengawalan dalam tuntutan ganti rugi oleh Sarbumusi (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia) yang bekerja sama dengan forum PMI, Kementerian Tenaga Kerja dan juga BP2MI juga diupayakan bagi pekerja yang gagal berangkat.

Pekerja Migran Pertanian Indonesia dalam Situasi yang Serba Tidak Menentu

Di sisi lain, dengan dicabutnya izin agensi perekrut di Inggris, pekerja migran Indonesia mengalami situasi yang tidak menentu. Ada dua situasi yang dihadapi pekerja musiman pertanian Indonesia di Inggris. Pertama, pekerja yang masih menetap di Inggris dan berusaha mencari pekerjaan lain untuk menutup hutang sebelum berangkat. Hal ini berpotensi menjadikan mereka sebagai migran ilegal yang rentan praktik eksploitasi. Kedua, mereka yang sudah selesai bekerja di musim panas tahun lalu, pulang ke tanah air dan berencana berangkat di tahun ini namun terkendala izin usaha perekrut. Kecemasan akan hutang menjadi masalah yang sama di kondisi ini. Dalam kondisi manapun, para pekerja membutuhkan penghasilan untuk menutupi biaya perekrutan yang sangat mahal. Mengenai hal ini, pihak agen perekrut Indonesia juga tidak melakukan klarifikasi lebih lanjut.

Aktivis buruh migran dan advokat Indonesia berusaha membuka forum diskusi bagi para pemangku kebijakan yaitu para buruh migran, BP2MI dan agen perekrut dari Indonesia untuk membicarakan solusi, namun belum ada kejelasan atas situasi ini. Di sisi lain, aktivis butuh asal Inggris juga melakukan advokasi dengan menginformasikan kepada pekerja migran Indonesia berbagai pilihan: melaporkan permasalahan ini dengan menggunakan pengacara, mengisi formulir komplain hak-hak pekerja Britania Raya atau dapat melaporkan pada Gangmasters and Labour Abuse Authority.

Kebutuhan tenaga kerja migran di sektor pertanian telah menjadi solusi yang diterima begitu saja oleh semua oleh pemangku kebijakan, para akademisi dan masyarakat secara umum. Pemerintah kedua negara berserta broker memiliki peran untuk membuka pasar tenaga kerja ini. Secara umum, pengiriman ini seperti triple win, dapat memberikan keuntungan untuk pekerja migran, negara pengirim dan negara penerima. Namun senyatanya, pengiriman tenaga kerja di sektor pertanian menciptakan kondisi rentan pekerja antara lain: sistem kerja sementara waktu, tempat kerja yang relatif terpencil, jam kerja yang panjang dan tidak jelas, keharusan untuk meninggalkan keluarga di negara asal, serta potensi menjadi subjek dari kebijakan migrasi dan sekuritisasi negeri tujuan. Hal ini semata-mata dilakukan dalam tajuk memenuhi rantai pasok kebutuhan pertanian yang semakin menekan dalam sistem produksi pangan yang semakin liberal dan terkapitalisasi.

Keterangan:

Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2023-04-12-Articles. Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.