Sumber foto: Klaster Kesehatan Jiwa Doctrine UK

ARTICLE

Notulis: Sri Padma Sari, PhD student at the Centre for Intelligent Healthcare, Coventry University

Kita sebagai mahasiswa PhD tanpa sadar sering merasa khawatir bahwa kesempatan menempuh PhD bukanlah karena potensi atau kemampuan kita, tapi karena keberuntungan.

“Saya sudah sekian tahun kerja di birokrasi, memulai PhD rasanya….”

“Latar belakang saya bukan akademisi, bikin penelitian itu seperti….”

“Terakhir kuliah sudah lama sekali, balik jadi mahasiswa perlu banyak….” 

“Sebagai lulusan baru yang nekat ambil PhD, pengalaman saya masih….”

Jika kita sering mendengar teman menyampaikan curahan hati (curhat) seperti itu atau malah kita sendiri yang mengatakannya, mungkin kita mengalami apa yang dinamakan sebagai sindrom impostor.

Untuk membahas fenomena tersebut, Klaster Kesehatan Jiwa membuat diskusi berjudul “Impostor Syndrome Among PhD Students: Facts or Myths?” Pemantik Diskusi pada sesi diskusi ini yaitu Idei K. Swasti, M.Psi., Psikolog (School of Psychology, University of Leeds) dengan moderator Gading E. Aurizki (University of Manchester). 

Inti materi pembicara

Bagian inti dari kegiatan klaster ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga tema menarik. Pertama, pengertian sindrom impostor. Sindrom impostor merupakan keadaan di mana individu merasa ketika dia mencapai sesuatu atau posisi tertentu bukan karena kompetensinya, tetapi karena kekeliruan atau keberuntungan semata.

Kedua, faktor yang mempengaruhinya. Setidaknya ada dua perspektif dalam memahami penyebab sindrom ini. Melalui perspektif psikologi klinis, sindrom impostor merupakan karakter dari diri seseorang, menggambarkan pola attachment, termasuk pribadi dengan tipe perfeksionis. Sehingga, perspektif psikologi klinis juga melihat sindrom ini sebagai kepribadian seseorang. Perspektif yang lain adalah perspektif psikologi sosial. Perspektif ini melihat sindrom impostor dapat dialami seseorang karena pengaruh dari sosial: masyarakat, institusi, dan interpersonal.  Masyarakat dapat membentuk seorang individu menjadi impostor. Pengaruh institusi seperti organisasi tempat bekerja juga dapat menyebabkan seseorang mengalami sindrom impostor. Pengaruh interpersonal dapat dilihat dari interaksi seorang individu dengan orang lain.  

Ketiga, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi sindrom impostor. Beberapa hal dapat  dilakukan untuk mengatasi sindrom ini, antara lain:

  • melakukan apa yang dinamakan sebagai “acceptance” dengan cara be present, open up atau acceptance, dan do what matters sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. salah satu cara untuk be present adalah dengan menghilangkan HOOK – kekhawatiran. Kekhawatiran ini dapat timbul karena kekhawatiran akan masa depan, self (diri), penilaian orang lain, dan alasan lainnya.
  • melepaskan ANCHOR, dengan memfokuskan diri pada tujuan hidup, target hidup, apa yang saya inginkan dalam hidup, menggunakan nilai-nilai kehidupan sebagai bahan bakar, dan bagaimana saya ingin menjalani hidup. 

Jalannya diskusi

Tema diskusi klaster kali ini cukup membuat antusias para mahasiswa PhD anggota Doctrine UK dengan peserta diskusi sejumlah 44 orang. Beberapa peserta memberikan pertanyaan dan berbagi pengalaman mereka terkait dengan Impostor syndrome. Berikut rangkumannya:

  1. Saya mungkin merasa memiliki sindrom ini karena salah satunya dipengaruhi oleh keluarga, di mana orang tua merasa tidak puas dengan pencapaian saya ketika saya masih kecil. Misal saya mendapat nilai 7, orang tua mengatakan kenapa tidak 8, ketika saya menunjukkan nilai 8, orang tua mengatakan kenapa tidak 9, dst. Hal seperti ini di mana keluarga ataupun lingkungan sosial sulit untuk memberikan apresiasi terhadap pencapaian diri kita kemungkinan besar akan memengaruhi kita untuk memiliki perasaan Imposter syndrome.

  1. Ketika menjadi mahasiswa PhD ini saya mungkin juga mengalami Impostor syndrome, di mana saya merasa benar tidaknya apa yang saya tulis meskipun supervisor sudah menguatkan bahwa sayalah yang ahli di bidang ini. Sebagai contoh lagi, dulu saya memiliki tujuan-tujuan besar seperti publikasi, tetapi pada kenyataannya sekarang saya merasa lulus saja sudah cukup. 

Bagaimana cara mengatasi sindrom ini ya? 

Cara mengatasi imposter syndrome bisa dilakukan dengan berbagai macam cara misalnya:

  • to be present, dengan menarik nafas, dan menginjakkan dan menghentakkan kaki untuk menyadarkan kita bahwa saat ini kita berada di sini, bukan mengalami apa yang ada di dalam pikiran-pikiran kita.
  • menyadari atau mencari penyebab fusion kita, misal pikiran yang ada pada diri kita, atau yang lain misal ketakutan bahwa examiner akan mengerikan dan memberikan pertanyaan yang tidak bisa saya jawab.
  • membuat jangkar dengan membuat tujuan yang kecil dan dapat dicapai di mana target ini perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini misal yang dulu ingin publikasi, bisa diturunkan dengan cukup lulus dan bersama keluarga.  

***

Keterangan:

Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2023-08-17-Articles. Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.