ARTICLE

Penulis: Gilang Desti Parahita PhD in Culture, Media and Creative Industry, King’s College London

Saat artikel ini ditulis (9 Januari 2023), Avatar: Way of Water (Avatar 2) besutan James Cameron belum mencapai impas dari ongkos produksinya yang konon memakan 1,5 miliar dollar Amerika. Avatar 2 dirilis lebih dari satu dekade sejak sekuel yang pertama. Saya tergerak untuk menyimak film tersebut karena saya teringat dengan indahnya Avatar (Avatar 1) berkat teknologi Computer Generated Imagery (CGI). Rupanya betul, mata saya terhibur dengan visualisasi alam Pandora yang disuguhkan. Lebih dari itu, meski sekuel-sekuel Avatar mengekspos negeri bulan yang berbeda dari bumi, alegori film itu adalah tentang penaklukkan, keserakahan kapitalis dan materialisme Barat.

Saya tidak ingin menceritakan secara detil isi kisah Avatar 2 di sini. Tapi selayaknya sebuah film, baik Avatar 1 dan 2 menggunakan simbolisme yang familiar bagi penontonnya. Alegori yang muncul dalam film biasanya merujuk pada nilai-nilai, tempat, suku bangsa, ideologi, ritual, dan sebagainya. Sebagaimana genre speculative-fiction lainnya, Avatar 1 dan 2 menggambarkan tentang upaya manusia mencari dunia baru yang dapat dihuni dan dikoloni manusia. Naratif utamanya masih tentang penjelajahan, discovery, dan survivability yang merupakan arketip mendasar manusia dan makhluk hidup umumnya. Namun Avatar 1 dan Avatar 2 mengandaikan surga dan keberhargaan laiknya negeri dengan keindahan dan kekayaan seperti Indonesia. Negeri-negeri seperti Indonesia itulah yang hingga saat ini masih dijajah oleh kapitalisme dan materialisme Barat.

Hutan hujan di Avatar 1 dan dunia bawah laut di Avatar 2 digambarkan mirip dengan alam tropis yang kaya dengan biodiversitas seperti di Indonesia maupun negara-negara tropis lainnya di kawasan ekuatorial Asia, Afrika, Polinesia, Australia, sebagian Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Karibia. Spesies suku Metkayina digambarkan memiliki pola lukisan tubuh seperti tato dalam budaya suku Maori. Karakter suku Metkayina yang hidup di tengah laut lepas mirip dengan suku Bajo yang hidup nomaden di atas perairan dangkal Sulawesi, Kalimantan, dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Seperti halnya anak-anak Suku Bajo, anak-anak Metkayina belajar berenang di laut sejak kecil.

Hutan hujan di Avatar 1 dan dunia bawah laut di Avatar 2 digambarkan mirip dengan alam tropis yang kaya dengan biodiversitas seperti di Indonesia maupun negara-negara tropis lainnya di kawasan ekuatorial Asia, Afrika, Polinesia, Australia, sebagian Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Karibia. Spesies suku Metkayina digambarkan memiliki pola lukisan tubuh seperti tato dalam budaya suku Maori. Karakter suku Metkayina yang hidup di tengah laut lepas mirip dengan suku Bajo yang hidup nomaden di atas perairan dangkal Sulawesi, Kalimantan, dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Seperti halnya anak-anak Suku Bajo, anak-anak Metkayina belajar berenang di laut sejak kecil.

Fantasi kaum langit (the Sky People) akan dunia yang layak dikoloni setelah kehancuran Bumi itu mirip dengan alam tropis yang kita ketahui. Fantasi itu mirip dengan keinginan orang-orang Eropa dan Amerika Serikat untuk berwisata ke negeri-negeri tropis. Banyak turis kulit putih menyukai langit biru, perairan yang hangat, hewan-hewan eksotis dan buah-buahan dan sayuran yang melimpah sepanjang tahun. Lebih dari itu, fantasi dunia baru Pandora mengingatkan kita dengan sejarah panjang penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap negeri-negeri tropis. Hingga saat ini, negara-negara persemakmuran Inggris juga kebanyakan berada di wilayah tropis (Historic Cornwall, 2022). Akibat sejarah penjajahan yang itu, hanya segelintir negara di wilayah tropis yang layak disebut sebagai negara maju, seperti Singapura, Hong Kong dan Australia.

Alam Pandora menyimpan kekayaan yang disebut Unobtainium. Kaum langit yang dipimpin oleh Jenderal Miles mengiginkan unobtanium sebab mineral itu bernilai mahal di Bumi. Di Avatar 1 dan 2, upaya ekstrasi unobtainium itu dilakukan dengan kekerasan maupun mengubah gen manusia menjadi seakan gen suku bangsa lokal Pandora, Na’vi, atau yang disebut Avatar. Sebab, dengan menjadi Avatar, misi mengkoloni dan mengekstrasi itu barangkali akan lebih lancar. Di kehidupan nyata, kapitalisme itu dijalankan melalui seperangkat regulasi dan geopolitik internasional.

Indonesia dikaruniai dengan keberlimpahan mineral bumi. Negara-negara Barat memiliki teknologi untuk mengekstrasi mineral di negara-negara pos-kolonial seperti Indonesia. Aturan-aturan dan lembaga-lembaga di tingkat dunia seringkali dibuat untuk menggantikan “kolonialisme” lama dengan “neokolonialisme”. Neokolonialisme mengkondisikan negara-negara poskolonial untuk mengekspor bahan-bahan mentah ke negara-negara maju tanpa mengolahnya terlebih dahulu.

World Trade Organisation (WTO) beberapa waktu lalu menerima keberatan Uni Eropa terhadap kebijakan Indonesia yang melarang ekspor nikel tanpa diproses dulu di smelter lokal (Tempo, 2023). Nikel adalah mineral yang menjadi bahan baku penting pada produksi baterai litium-ion yang digunakan kendaraan elektrik (Electronic Vehicle) seperti Tesla. Praktik berdagang, mengeksploitasi sumber daya alam, dan berkoloni di negara-negara lain dengan cara-cara tidak adil bukanlah hal baru (Neilson, Jeff, 2016). Negara penjajah bekerja sama dengan sebagian penduduk lokal untuk mengekstraksi kekayaan setempat dan menghancurkan pihak-pihak lokal yang melawan.

Jake Sully adalah orang kulit putih, mantan marinir Amerika Serikat, dan menyandang disabilitas yang ber-inkarnasi (dilahirkan kembali). Ia menjadi sosok kuat hibrida manusia-Na’vi melalui program Avatar. Konsep manusia berinkarnasi itu sangat familiar di keyakinan Abrahamik (kebangkitan Yesus) maupun di Hindu dan Buddha. Di Avatar 1, kebangkitan Jake yang baru pada level material (dengan bantuan teknologi) itu baru utuh ketika ia bersimpati dan menyatu dengan Hometree, pohon sakral klan Omaticaya.

Meski pada awalnya ia menjadi bagian dari misi mengekstrasi mineral justru bersimpati dengan Na’vi dan memilih menetap di Pandora. Jake lantas membangun keluarga dengan Neytiri, perempuan Omaticaya yang juga petarung andal, dan dukun spiritual. Neytiri-lah yang sejak awal ingin melawan penjajahan para alien dari Bumi, sementara Jake tak ingin berkonfrontasi. Dari Neytiri dan suku bangsa asli Pandora, Jake menyelami panteisme, yaitu keyakinan bahwa Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Setiap makhluk hidup terhubung satu sama lain dan membangun keseimbangan energi di alam. Di Avatar, materialisme dikalahkan oleh panteisme. Materialisme, adalah keyakinan bahwa kebahagiaan, kesuksesan, pusat kehidupan manusia empat institusi: politik kepemilikan, pertumbuhan ekonomi, penguasaan teknologi dan antroposentrisme/manusia menggunakan alam (Kilbourne, William E. et al, 2009). Mother Nature Pandora bersama bangsa setempat menumpas materialisme — yang disimbolkan melalui Jenderal Miles dan pasukannya.

Bahwa manusia bukanlah pusat kehidupan dan pos-materialisme mulai berpengaruh di masyarakat Barat sejalan dengan diskusi akademik terbaru [Strenze, Tarmo 2021]. Dua teori yang berkembang untuk menjelaskan materialisme di masyarakat Barat adalah bahwa materialisme sedang menurun, atau sebaliknya, materialisme meningkat. Artikel itu menjelaskan bahwa materialisme berkembang secara privat, namun pos-materialisme berkembang di ruang publik. Tujuan-tujuan personal di lingkungan kerja, karir, dan keuangan, orang-orang muda di Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) meningkat. Kaum muda UE dan AS menginginkan pencapaian material sebab ketidakpastian (insecurity) juga melesat. Sebaliknya, nilai-nilai politik yang mendasari kerja-kerja kepemerintahan menunjukkan pos-materialisme mengalami peningkatan. Analisis itu didasarkan pada data persepsi publik longitudinal yang telah dimiliki oleh lembaga-lembaga survei Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Materialisme di level personal itulah yang sepertinya diseimbangkan dengan re-enchantment terhadap mistisisme dan kekuatan supranatural. Adegan kematian putra sulung Jake Sully dan Neyriti merepresentasikan titik keterpesonaan ulang (re-enchantment) masyarakat Barat terhadap mistisisme dan irasionalitas negeri-negeri jajahan. Keterpesonaan ulang masyarakat Barat itu selalu menjadi bagian dalam industrialisasi, kolonialisme, komersialisme, dan materialisme Barat [Lee, Raymond LM, 2003]. Secara paradoks, re-enchantment adalah efek dari maupun proses perlawanan budaya terhadap dis-enchantment/ demistifikasi terhadap kekuatan magis dan supernatural yang berkembang secara inheren dalam modernisme Barat. Contoh re-enchantment dalam masyarakat Barat adalah dengan berkembangnya spiritualitas New Age dan meluasnya Buddhisme di Barat.

Kerinduan masyarakat Barat dengan mistisisme dan irasionalitas itu mengingatkan kita pada pentingnya mempertahankan spiritualitas, termasuk kebijaksanaan dan keyakinan lokal yang mendukung keberlanjutan alam semesta. Penganut Hindu Bali meyakini Tri Hita Karana (Disbud Buleleng), yaitu hubungan baik manusia dengan Tuhan, alam dan sesama makhluk hidup. Masyarakat Jawa mengenal falsafah memayu hayuning bawana atau mempercantik bumi agar tercipta tata, titi lan tentrem atau keharmonisan, keselarasan dan ketenteraman manusia dengan alam (Centre of Excellence (CoE) Budaya Jawa, BPAD Provinsi Jogja).

 ***

Keterangan:

  • Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2023-02-1-Articles.
  • Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Reference:

  1. Historic Cornwall, December 2, 2022, Patricia Smith, https://www.historic-cornwall.org.uk/the-british-commonwealth-a-group-of-countries-that-were-once-part-of-the-british-empire/
  2. Mahinda Arkyasa, 7 January 2023, TEMPO, Losing WTO Nickel Lawsuit, Ministry Files Appeal, https://en.tempo.co/read/1676702/losing-wto-nickel-lawsuit-ministry-files-appeal
  3. Neilson, Jeff. “Indonesia: a political–economic history of environment and resources.” In Routledge Handbook of the Environment in Southeast Asia, pp. 392-407. Routledge, 2016. https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315474892-35/indonesia-political%E2%80%93economic-history-environment-resources-jeff-neilson
  4. Kilbourne, William E., Michael J. Dorsch, Pierre McDonagh, Bertrand Urien, Andrea Prothero, Marko Grünhagen, Michael Jay Polonsky, David Marshall, Janice Foley, and Alan Bradshaw. “The institutional foundations of materialism in western societies: A conceptualization and empirical test.” Journal of Macromarketing 29, no. 3 (2009): 259-278. https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0276146709334298
  5. Strenze, Tarmo. “Value change in the Western world: the rise of materialism, post-materialism or both?.” International Review of Sociology 31, no. 3 (2021): 536-553. https://www.tandfonline.com/doi/epdf/10.1080/03906701.2021.1996761?needAccess=true&role=button
  6. Lee, Raymond LM. “The re-enchantment of the self: Western spirituality, Asian materialism.” Journal of Contemporary Religion 18, no. 3 (2003): 351-367. https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/13537900310001601703?casa_token=Mwm2y7KHYpYAAAAA:S2THCPQU69iuBi4WVh1r4plS_E42Rm7Vj0PmDu0RStHH3heuizpBJviwmIdu3PGSZ1UcuQRw5yya
  7. Dinas Kebudayaan, Pemkab Buleleng, Tri Hita Kirana, https://disbud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/56-tri-hita-karana
  8. Centre of Excellence (CoE) Budaya Jawa, BPAD Jogja, Memayu hayuning bawana : Laku menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup orang Jawa, http://bpad.jogjaprov.go.id/coe/article/memayu-hayuning-bawana-laku-menuju-keselamatan-dan-kebahagiaan-hidup-orang-jawa-640