Sumber: Dokumentasi internal Doctrine UK – Klaster Policy and Development

ARTICLES

Penulis: Deden Habibi Ali Alfathimy
Mahasiswa Doktoral Bidang Politics and International Relations (Outer Space Policy), University of Leicester

“Urai benang kusutnya, jangan potong benangnya!”

-Winarti Halim-

Tahukah kamu bahwa penjajahan yang dialami oleh Indonesia turut membentuk kebijakan dan kenyataan pertaniannya hari ini? Siapa yang disebut sebagai “penjajah” dalam isu pertanian? Bagaimana Indonesia dapat melakukan dekolonialisasi yang sejati dalam upaya pembangunan pertaniannya?

Tiga pertanyaan tersebut hanyalah beberapa dari sekian banyak pertanyaan dalam sesi diskusi Klaster Policy and Development Doctrine UK bersama Winarti Halim (University of Edinburgh), yang dilaksanakan pada hari Jumat, 28 Oktober 2022. Diskusi yang mengambil tajuk “Dekolonialisasi di Indonesia dalam Politik dan Kebijakan Pertanian” ini dimoderatori oleh Ani Tri Wahyuni (Cardiff University). Sambutan turut diberikan oleh Achmad M. Amin Djajawilaga (King’s College London) selaku Ketua Klaster dan Gatot Subroto (University College London) selaku Ketua Umum Doctrine UK.

Pada sesi diskusi, Wina membahas beberapa poin utama, termasuk penekanan terhadap makna “dekolonialisasi” yang menjadi konteks kajiannya selama studi doktoral terkait pembangunan dan isu pangan di Indonesia.

Wina merujuk empat tipe dalam colonial matrix: eksploitasi ekonomi; superioritas militer; pendidikan; dan gender-seksualitas. Basis teori ini kemudian menjadi kerangka pikir dalam upaya menjawab sejumlah pertanyaan dasar seperti: Mengapa pembangunan Indonesia tertinggal? Apakah kita kekurangan ide setelah puluhan tahun merdeka?

Indonesia sebenarnya memiliki momen-momen sejarah penting dalam upayanya melawan penjajahan, seperti Sumpah Pemuda dan Konferensi Asia Afrika. Sejarah panjang ini, sayangnya, tidak begitu mendominasi kesadaran dan kiprah Indonesia kini, baik di dalam maupun luar negeri.

Salah satu contoh abainya pemahaman sejarah bisa kita lihat dari sisi pemikiran ekonomi dalam pembangunan nasional.

Dalam sejumlah perdebatan mengenai pembangunan ekonomi Indonesia, banyak pihak yang belum paham bahwa lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan internasional seperti IMF dan World Bank bisa dianggap sebagai produk kolonialisasi baru. Lembaga-lembaga ini mengutangi negara-negara yang rusak akibat perang. Untuk itu, pandangan baru seperti Keynesian memungkinkan negara agar berhutang dan meningkatkan konsumsi dengan dalih untuk membantu kebangkitan kembali.

Ketidakbebasan pemikiran ekonomi ini patut disayangkan karena di berbagai daerah Indonesia terdapat kearifan lokal terkait pengelolaan ekonomi masyarakat setempat. Salah satu contohnya ada di Nusa Tenggara Timur yang mampu memperagakan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable) dengan cara mereka sendiri. Dari sisi gender, misalkan, tidak jarang ditemukan pemimpin-pemimpin dari kalangan wanita di Indonesia.

 

Keterangan gambar: para peserta dalam diskusi Klaster Policy and Development, Doctrine UK

Siapa yang dimaksud dengan penjajah atau colonizers?

Pengertian atau batasan mengenai siapa penjajah menjadi isu yang sangat penting untuk dibahas di awal. Menurut Eva Wishanti (University of Leeds), sejarah mencatat contoh-contoh kolonialisasi yang terjadi tidak hanya di Barat. Bahkan, kebijakan swasembada pangan Soeharto bisa dimaknai juga sebagai kolonialisme Jawa. Kemudian, menurut Devi Megawati (Coventry University), batasan mengenai siapa yang menjadi penjajah dalam konteks pertanian pun perlu ditelaah. Bagaimana dengan imperium yang dianggap malah membawa kesejahteraan, seperti yang dicontohkan oleh Farhan (Newcastle University) terkait Romawi atau Islam.

Wina menjelaskan bahwa asal muasal pemikiran dekolonialisasi memang berawal dari, salah satunya, contoh kasus British Empire di Afrika. Kecenderungan ini memengaruhi nexus pendidikan-kuasa pada saat itu sehingga cukup jelas bahwa dekolonialisasi yang dimaksud merujuk pada Barat, pada awalnya. Definisi ini kemudian menjadi diskusi tersendiri, seperti contoh pada pemilahan Australia sebagai negara Utara padahal secara geografis berada di Selatan.

Yusuf Samsudin (Oxford University) menambahkan pandangan mengenai kerancuan mengenai makna dekolonialisasi dengan merujuk pada pidato Bung Hatta saat prosesi penerimaan gelar doktor honoris causa-nya. “Kalau Western democracy was rejected a priori, lalu bagaimana dengan Indonesia?”

Terkait imperium yang dianggap membawa kebaikan, Wina memberikan pandangan bahwa sejumlah contoh imperium bisa dianggap lebih dekat pada development alih-alih power. Namun, kita perlu berhati-hati bila kita memiliki pemikiran bahwa kolonialisasi itu baik karena mungkin itu disebabkan oleh pemahaman terhadap kolonialisasi/ dekonolonialisasi yang belum terkonstruk dengan baik.

Wina mengemukakan bahwa pihak yang menjadi colonizers dalam konteks pangan Indonesia sekarang adalah mereka yang bertindak abuse of power dan mencuri hasil kerja petani. Penelaahan terhadap ini dimulai dari pertanyaan dasar: mengapa jutaan petani Indonesia masih miskin? Penelitian Wina menunjukkan bahwa penyebabnya adalah sumber daya utama petani belum dimiliki oleh para petani itu sendiri.

Bagaimana dekolonialisasi yang sejati?

Beranjak dari siapa penjajah yang melakukan penjajahan, apa bentuk perlawanan dari yang terjajah dalam rangka dekolonialisasi? Beberapa peserta diskusi mempersoalkan: apakah dekolonialisasi selalu berwujud penolakan terhadap apapun dari Barat/ penjajah atau kita bisa memilah baik-buruk dari yang dibawa oleh penjajah? Silfana Nasri (University of Surrey) mendorong lebih jauh lagi dengan menanyakan dari mana benang kusut persoalan ini perlu diurai.

Wina melihat pengetahuan lokal melalui kerangka konsep epistemic power dari Focault. Menurut konsep tersebut, suatu pengetahuan dapat lebih dominan dari pengetahuan lain. Dalam kasus ini, pengetahuan penjajah mendominasi yang terjajah. Karenanya, dekolonialisasi cenderung lebih dekat pada penolakan terhadap yang dominan. Dalam situasi ini pengetahuan lokalitas di Indonesia yang beragam harus lebih banyak diangkat. Sebagai contoh, dalam salah satu program PBB terkait pengelolaan lahan, setiap orang harus memiliki sertifikat tanah, padahal di wilayah lokal tertentu masyarakatnya memiliki caranya sendiri untuk membagi lahan.

Refleksi kontekstual terhadap pemikiran-pemikiran Barat dan nilai-nilai yang kita anut pun patut dilakukan. Ini bisa diterapkan pada pemikiran, sebagai contoh, Adam Smith dan Keynes. Konsep invisible hand Adam Smith tidak banyak diketahui berasal dari unsur kristianitasnya sebagai penganut agama. Di lain hal, pemikiran Keynes terkait peningkatan pengeluaran (spending) sebenarnya bisa selaras dengan pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun, atau secara spesifik terhadap praktik-praktik zakat yang Islami.

Pemahaman yang komprehensif ini mengarah pada satu titik kunci pemecahan masalah: Pemerintah perlu dipimpin oleh orang yang bisa mengurai atau mendengarkan orang yang paham. Selama bekerja sebagai ASN sebelum studi doktoralnya, Wina belum pernah mendapatkan pemahaman mengenai perkembangan pertanian Indonesia yang merentang hingga awal kebijakan kolonial di tanah air. Pemahaman ini penting untuk merunut akar masalah yang ada sehingga solusi yang dihadirkan menjadi tepat sasaran dan efektif.

Bacaan Lanjut

  • Bhambra, G.K., 2014. Postcolonial and decolonial dialogues. Postcolonial studies, 17(2), pp.115-121.
  • Bilgen, A., Nasir, A. and Schöneberg, J., 2021. Why positionalities matter: reflections on power, hierarchy, and knowledges in “development” research. Canadian Journal of Development Studies/Revue canadienne d’études du développement, pp.1-18.
  • Fanon, F. (1963). The Wretched of the Earth. Grove Press.
    Hall, S., 1992. The West and the rest: Discourse and power. Race and Racialization, 2E: Essential Readings, pp.85-95.
  • Kothari, U., 2006. Critiquing ‘race’ and racism in development discourse and practice. Progress in Development Studies.
  • Krauss, J., 2018. “Decolonising Development – what, how, by whom and for whom?” Global Development Institute.
  • Kumi, E. and Kamruzzaman, P., 2021. Understanding the motivations and roles of national development experts in Ghana: ‘We do all the donkey work and they take the glory’. Third World Quarterly, pp.1-19.
  • Pailey, R.N., 2020. De‐centring the ‘white gaze’ of development. Development and Change, 51(3), pp.729-745.

***
Keterangan:

Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2022-11-20-Articles.

Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.