Sumber: pexels.com

ARTICLES

Penulis: Ida Bagus Mandhara Brasika, Mahasiswa Doktoral bidang Matematika Iklim, University of Exeter

Setiap tahunnya negara-negara di seluruh dunia bertemu untuk mencari solusi bersama terhadap isu Perubahan Iklim. Pertemuan ini yang dikenal sebagai Conference of the Parties (COP), tidak hanya melibatkan pemerintah, namun juga mempertemukan para peneliti, aktivis, organisasi non-pemerintah dan masyarakat. Negara-negara di dunia secara bergiliran menjadi tuan rumah perhelatan COP. Setelah tahun lalu COP 26 diadakan di Glasgow, Skotlandia, tahun ini COP 27 diadakan di Sharm el-Sheikh, Mesir pada 06-18 November 2022. Menariknya di setiap perhelatan COP, Indonesia selalu menjadi salah satu sorotan utama dunia dan terlibat dalam keputusan-keputusan penting.

Hal ini sangat wajar, mengingat salah satu agenda di setiap perhelatan COP adalah deforestasi, dimana hutan memiliki peran yang sangat vital dalam menyerap dan menyimpan karbon dunia. Kurang lebih 861 Gigaton karbon disimpan oleh hutan dunia, dimana proses deforestasi telah menyumbangkan 30% emisi karbon dunia yang menyebabkan perubahan iklim. Inilah yang membuat Indonesia sangat memegang peran penting di isu Perubahan Iklim.

Bersama Brazil dan D.R. Kongo, Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Dalam beberapa dekade hutan Indonesia mengalami kebakaran besar yang mengakibatkan deforestasi luar biasa. Ditambah lagi hutan Indonesia yang unik karena berada dalam gugusan kepulauan membuat emisi karbon dari hutan memiliki interaksi yang kuat dengan atmosfer dan lautan.

Hutan hujan tropis Indonesia telah mengalami beberapa fase kebakaran besar diantaranya pada tahun 1997/1998 dan tahun 2015/2016, juga beberapa kebakaran hutan dengan periode 2-7 tahun. Hal ini tentu secara alami sangat sulit terjadi, karena hutan hujan tropis memiliki kelembapan serta curah hujan yang sangat tinggi. Sehingga, api sangat sulit muncul dan, kalaupun muncul, akan mudah padam. Kejadian tidak alami ini kemudian dikaitkan dengan fenomena iklim yang disebut sebagai El Nino, dimana fenomena ini mengakibatkan musim kering yang lebih panjang di kawasan Indonesia. Secara kebetulan, pada tahun 1997 dan 2015 terjadi El Nino yang kuat. Namun jika kita lihat polanya, dapat disimpulkan bahwa tidak selalu saat El Nino menguat, maka terjadi kebakaran hutan yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa El Nino buka satu-satunya faktor atau bahkan mungkin bukan faktor utama. Justru, terdapat indikasi momentum El Nino dimanfaatkan untuk mempermudah pembakaran hutan. El Nino memang tidak bisa membakar hutan secara langsung, namun kondisi saat El Nino mengakibatkan api bisa bertahan lebih lama. Sehingga sangat sulit menyatakan fenomena iklim sebagai faktor utama penyebab kebakaran hutan.

Sebaliknya, justru hutan Indonesia lah yang memiliki dampak signifikan terhadap perubahan iklim di dunia. Kebakaran hutan di Indonesia menghasilkan emisi karbon dua kali lipat lebih banyak daripada di tempat lainnya, bahkan lebih.

Hal ini karena biomassa di hutan Indonesia memiliki densitas sangat tinggi, ditambah emisi yang lepas dari lahan gambut yang terbakar. Secara global dua negara utama sebagai emitter karbon terbesar di dunia adalah Brazil dan Indonesia, dimana pada tahun lalu Indonesia menjadi yang teratas melewati Brazil. Namun dalam sedekade belakangan, terjadi anomali terhadap kebakaran hutan Indonesia. Sejak tahun 2010, beberapa kejadian kebakaran tidak diikuti oleh emisi yang sebesar dekade sebelumnya. Ada dua kemungkinan yang dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama, bisa saja terjadi peningkatan penanganan kebakaran sehingga api bisa segera dipadamkan atau yang kedua bahwa kita sudah kehilangan sebagian besar simpanan karbon kita terutama yang berasal dari gambut. Jika yang kedua, maka ini merupakan bencana besar untuk Indonesia karena dibutuhkan ratusan bahkan ribuan tahun untuk mengembalikan lahan gambut.

Melihat data dan fakta mengenai hutan Indonesia, maka sewajarnya peran dan posisi Indonesia memiliki daya tawar yang tinggi dalam perhelatan dunia sepenting COP. Seharusnya hal ini bisa menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dunia dalam menuju masa depan hijau, yaitu masa depan yang mengutamakan keseimbangan alam dan manusia.

***

*) Artikel ini adalah aset pengetahuan organisasi Doctrine UK dengan nomor registrasi 2022-11-9-Articles.

Lampiran

Presentasi

terlampir adalah materi akademik tanpa telaah formal keilmuan (non-reviewed) yang diedarkan semata-mata untuk memantik komentar dan diskusi. Oleh karena itu:

N

diedarkannya presentasi ini sifatnya tidak menghalangi publikasi gagasan-gagasan ilmiah di dalamnya di tempat lain

N

Setiap pembuat presentasi/penulis bertanggung jawab atas bentuk dan isi presentasi.

N

Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam presentasi.

N

Hak cipta presentasi dipegang oleh masing-masing penulis.