ARTICLE

Pernahkah mendengar soal tandan buah kosong kelapa sawit? kalau belum, cobalah ketik istilah tersebut di laman mesin pencari. Besar kemungkinan, yang akan muncul adalah foto gunungan berkelir coklat. Pada banyak foto, tumpukan itu bersanding dengan truk. Tingginya hampir 2 kali truk setinggi 2 meter. Itulah tandan buah kosong atau empty fruit bunch (EFB), salah satu limbah pengolahan kelapa sawit. Dalam pengolahan kelapa sawit, buah diambil dari tandan, dipisahkan untuk diekstraksi minyaknya. Alhasil, yang tersisa adalah tandan kosong. 

EFB inilah yang jadi fokus riset pada artikel ilmiah teranyar Dharu Smaradhana, seorang mahasiswa doktoral di Imperial College London, Inggris. Dalam publikasi bertajuk Rigid Plastic-Free Fibreboards Made from “Hairy” Cellulose Fibres and Oil Palm Empty Fruit Bunch tersebut, Dharu mengembangkan hasil penelitiannya yang berhasil mengolah serat EFB menjadi papan serat (fibreboard) ramah lingkungan dan bernilai ekonomis. 

Berbincang dengan Dharu melalui sambungan video pada Jumat (17/1/2025), ia memaparkan fibreboard yang ia hasilkan ini dapat menjadi alternatif produk komersial berbasis serbuk kayu (wood chips) yang seringkali digunakan pada berbagai furnitur. 

Ia melanjutkan, praktek yang umum dilakukan adalah memadukan serbuk kayu dengan perekat berbahan dasar plastik, sehingga serbuk kayu menjadi padat. Namun, dalam produk berbahan dasar serat EFB ini, alih-alih menggunakan perekat plastik, ia memanfaatkan cellulose pulp atau bubur selulosa dari kayu sebagai “lem” yang lebih ramah lingkungan. 

Masalah Lingkungan dan Kesehatan

Menurut dosen pada Departemen Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini riset yang ia hasilkan setidak-tidaknya membawa solusi bagi dua masalah utama. Pertama, hasil riset Dharu dapat dijadikan sebagai pijakan untuk mengatasi masalah limbah kelapa sawit, yakni EFB. Pasalnya jumlah EFB cukup besar. 

Satu ton kelapa sawit dapat menyisakan sekitar 200-230 kilogram limbah EFB atau sekira 20%-23% dari total panen. Terlebih, lanjut Dharu, gunungan EFB yang didiamkan dalam waktu lama akan menghasilkan gas metana–senyawa tak ramah lingkungan yang kian mendorong pemanasan global. 

Persoalan limbah ini kian signifikan jika menilik posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Menukil data Foreign Agriculture Service Amerika Serikat, sepanjang 2023/2024 Indonesia memasok 44 juta metrik ton minyak sawit atau sekitar 57% produksi global. Dharu menuturkan, memang selama ini sudah ada upaya-upaya untuk mendaur ulang limbah kelapa sawit, termasuk EFB. Sejumlah korporasi sawit besar, misalnya memanfaatkan EFB sebagai pupuk. Namun, Dharu menilai dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk memastikan bahwa pemanfaatan limbah kelapa sawit betul-betul efektif dan ramah lingkungan.

Persoalan kedua yang hendak diatasi oleh risetnya ini terkait kesehatan. Dharu menuturkan, kebanyakan produk papan komersial lain, seperti medium density fibreboard (MDF) masih mengandung bahan plastik yang berbahaya bagi kesehatan.

“Dia [bahan plastik] toksik, yang beresiko menyebabkan leukemia jika terpapar terlalu banyak,” katanya. Dharu mengeliminasi penggunaan bahan plastik tersebut pada papan serat EFB yang ia riset sehingga lebih aman dari segi kesehatan. 

Sementara itu, dari sisi hitung-hitungan harga, Dharu mengatakan, material EFB sangat murah. “Karena ini kan limbah,” ucapnya. Satu ton EFB dijual seharga sekitar 12 dollar AS atau sekira Rp195.000. Adapun ongkos produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan papan serat EFB adalah sekitar 124 dollar AS per meter kubik atau sekitar dua juta rupiah. 

Riset dan Penulisan

Dharu menuturkan, proses penulisan artikel ini tak terlalu lama, sekitar empat bulan. Bagian terpanjang dari riset ini, sambungnya, adalah proses Life Cycle Asessment (LCA), yakni sebuah metode untuk menganalisis dampak lingkungan dalam setiap tahapan proses pembuatan, penggunaan, hingga pembuangan sebuah produk atau layanan. 

Melalui LCA, Dharu memastikan bahwa produk papan serat dalam risetnya lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan produk papan serat komersial dari bahan lainnya.  “Yang lama belajar life cycle asessment, belajar setahun dulu,” ungkap Dharu. 

Menurutnya, sejumlah upaya upcycling limbah secara umum–tidak hanya kelapa sawit–terkadang justru mengabaikan kalkukasi emisi karbon. Alhasil, proses pemanfaatan limbah justru menghasilkan ekses karbon yang boleh jadi cukup besar sehingga tak sejalan dengan tujuan awal, yakni menekan emisi karbon untuk menyelamatkan lingkungan. 

“[kebanyakan penelitian] enggak ada carbon calculation yang menunjukkan benar atau enggak [produk upcycle] menghasilkan carbon footprint yang lebih kecil dari commercial product?” tutur Dharu.

Menutup perbincangan sore itu, Dharu menekankan, LCA teramat penting untuk meningkatkan kredibilitas hasil riset, sehingga ‘ramah lingkungan’ tidak sekedar menjadi klaim peneliti belaka.