Permukiman yang perlahan tenggelam di Pekalongan. Sumber: Dokumentasi pribadi, Idham Effendi

ARTICLE

Penulis: Rendy Bayu Aditya – Bartlett School of Planning, UCL; Idham Effendi – Groundwater Research Group, the University of Sheffield

Saat target-target mitigasi iklim belum berhasil dicapai, potensi bencana akibat adanya perubahan iklim akan senantiasa terjadi dan bahkan meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini menempatkan penduduk Indonesia pada status rentan terhadap ancaman bencana akibat adanya perubahan iklim, seperti misalnya kenaikan permukaan air laut dan banjir. Area pesisir dinilai memiliki tingkat kerentanan lokasi lebih tinggi karena potensi beberapa bencana yang mengancam sekaligus. 

Menuju COP27, melalui kasus penurunan tanah di Pekalongan, kami mencoba memaparkan kompleksitas yang dihadapi agenda adaptasi iklim yang terjadi di Indonesia terutama di kota-kota pesisir.

Pertama, kami menjelaskan kaitan antara penurunan tanah, naiknya permukaan air laut, genangan pesisir, serta kelangkaan air bersih yang mengancam Pekalongan dan kota pesisir Indonesia lainnya secara bersamaan. Selanjutnya kami menjelaskan beragam strategi adaptasi baik yang bersifat inkremental (respon cepat dan jangka pendek) – beberapa diantaranya sudah umum dilakukan –  maupun yang bersifat transformatif (mengakar dan jangka panjang) untuk memperlambat penurunan tanah.

Penurunan tanah hingga kelangkaan air bersih

Pertama, perlu dipahami bahwa air tanah merupakan sumber daya air dengan tingkat aksesibilitas termudah bagi masyarakat perkotaan di Indonesia, termasuk di Pekalongan. Saat Perusahaan Daerah Air Minum belum mampu secara penuh memberikan pelayanan air perpipaan, kegiatan penyedotan air tanah akan terjadi demi memenuhi kebutuhan harian. Baik itu oleh rumah tangga, terlebih lagi oleh kegiatan komersial, industri, hingga pertanian. Apabila kuantitas penyedotan air tanah melebihi kapasitas pengisian kembali, maka yang terjadi adalah penurunan muka air tanah (groundwater decline) yang kemudian bisa diikuti dengan penurunan tanah (land subsidence) (Marker, 2013). Hal ini biasanya diperparah dengan adanya beban infrastruktur di atas permukaan tanah, seperti bangunan, gedung, jalan, dan beragam infrastruktur perkotaan lainnya (ibid.). 

Pada kasus Pekalongan, yang juga terjadi di kota pesisir lain di Indonesia seperti Jakarta dan Semarang, laju penurunan tanah jauh lebih cepat dari laju naiknya muka air laut. Andreas et al., (2020) menyatakan bahwa penurunan tanah di Pekalongan mencapai 3 cm/tahun di tahun 2017. Sementara itu, hasil penelitian sementara penulis (Idham Effendi), penurunan tanah di Pekalongan di tahun 2020 mencapai 10 cm/tahun di beberapa titik.

Berkaitan dengan kenaikan permukaan air laut, berdasarkan data IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change), data kenaikan muka laut dunia mencapai 3,7 mm/tahun pada tahun 2016-2018 (IPCC Working Group III, 2022), sedangkan berdasarkan studi khusus di Indonesia pada rentang 1993-2018, kenaikan muka laut di negara kita mencapai +4,5 cm/tahun (Handoko et al., 2020). Data ini tidak memperhitungkan laju penurunan tanah yang di beberapa daerah terutama di pesisir utara Jawa, angkanya jauh lebih tinggi sehingga mempercepat tenggelamnya kota-kota pesisir di area ini.

Belum berhenti di sini, penurunan muka air tanah dan penurunan tanah juga memberikan satu dampak lain yaitu kelangkaan air bersih akibat penyusupan air laut (saltwater intrusion).

Penyusupan air laut adalah masuknya air laut ke dalam akuifer (lapisan air tanah) yang menyebabkan air tanah memiliki rasa asin. Air tanah yang mengandung garam mengancam kesehatan penduduk apabila dikonsumsi secara jangka panjang (Shammi et al., 2019). Dengan adanya fenomena ini, air tanah yang menjadi sumber satu-satunya air bersih penduduk pesisir bahkan terancam keberadaannya dan berpotensi mengarah pada kelangkaan.

Hal ini kembali meningkatkan kerentanan penduduk di area pesisir dari sudut pandang pemenuhan kebutuhan dasar bagi kesejahteraan, berlipat dengan ancaman yang muncul dari fenomena penurunan tanah dan kenaikan muka air laut. 

Adaptasi inkremental dan transformatif 

Serangkaian fenomena tersebut menjadikan adaptasi iklim di Pekalongan menjadi lebih kompleks. Kompleksitas yang sama atau lebih tinggi pun berpotensi dihadapi kota-kota pesisir lainnya di Indonesia (Khairulbahri, 2022). Dalam upaya adaptasi terhadap genangan pesisir dan kelangkaan air bersih – yang diakibatkan penurunan tanah, naiknya permukaan air laut, dan penyusupan air laut ke akuifer – berbagai upaya telah dilakukan. Namun ada juga upaya yang perlu dilakukan dan dioptimalkan kembali. Kami memetakannya ke dalam dua kategori: inkremental dan transformatif (Kates et al., 2012)

Pada kategori adaptasi inkremental, strategi sebagai upaya respon cepat dan jangka pendek telah banyak dilakukan seperti misalnya membangun tanggul laut, mengoperasikan infrastruktur pompa, hingga perancangan ulang infrastruktur dengan cara ditinggikan (Buchori et al., 2022). Dari sisi masyarakat, meninggikan bangunan rumah, baik secara permanen maupun sementara juga telah banyak dilakukan secara swadaya sebagai upaya beradaptasi dengan fenomena genangan ini. Untuk pemenuhan air bersih sehari-hari, sebagian masyarakat memanen air hujan. Beberapa yang lainnya membeli air bersih harian atau mingguan yang tentu menambah beban ekonomi keluarga.

Strategi-strategi adaptasi inkremental ini penting untuk secara cepat mengatasi masalah, akan tetapi belum menyentuh akar masalah yang sebenarnya dari kasus penurunan tanah, yaitu kurangnya alternatif air yang bukan berasal dari dalam tanah.

Pada kasus kota pesisir yang mengalami penurunan tanah, upaya adaptasi transformatif dari tenggelamnya area pesisir penting untuk mengintegrasikan strategi memperlambat laju penurunan tanah melalui konservasi air tanah. Secara garis besar, upaya-upaya untuk menahan laju penurunan tanah dapat berupa 1) strategi penyediaan sumber air bersih alternatif, dengan melihat air hujan dan permukaan sebagai potensi utama; 2) pengutamaan proyek-proyek infrastruktur penyedia air bersih pada tingkat nasional maupun daerah; 3) strategi pengisian ulang air tanah melalui pendekatan berbasis alam atau infrastruktur hijau. Setelah ketiga hal tersebut terlaksana, maka strategi selanjutnya adalah 4) pengendalian pemanfaatan air tanah melalui perizinan dan penegakan aturan yang ketat. Sementara sebelum keempat strategi tersebut dapat dilakukan, maka setidaknya mulai saat ini, kita perlu melakukan 5) pemantauan pemanfaatan air tanah melalui pencatatan sebagai basis data manajemen air tanah yang akuntabel. Sebagai tambahan dari sudut pandang tata ruang, perlu juga kita menerapkan strategi 6) pengendalian pembangunan fisik baru pada area-area yang sudah menunjukkan gejala penurunan tanah.

***

*) Materi pada artikel ini memiliki cakupan pembahasan yang lebih sempit dibandingkan materi di dalam salindia terlampir.
**) Artikel ini adalah aset pengetahuan organisasi Doctrine UK dengan nomor registrasi 2022-11-13-Articles

Daftar Pustaka

Andreas, H., Abidin, H. Z., Sarsito, D. A., & Pradipta, D. (2020). Remotes sensing capabilities on land subsidence and coastal water hazard and disaster studies. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 500(1), 012036. https://doi.org/10.1088/1755-1315/500/1/012036.

Buchori, I., Zaki, A., Pangi, P., Sejati, A. W., Pramitasari, A., & Liu, Y. (2022). Adaptation strategies and community participation in government-led mitigation projects: A comparison between urban and suburban communities in Pekalongan, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 81, 103271. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2022.103271.

Handoko, E. Y., . Y., & Ariani, R. (2020). ANALISIS KENAIKAN MUKA AIR LAUT INDONESIA TAHUN 1993-2018 MENGGUNAKAN DATA ALTIMETRI. Geoid, 15(1), 58. https://doi.org/10.12962/j24423998.v15i1.3958.

IPCC Working Group III. (2022). Climate Change 2022: Mitigation of Climate Change Summary for Policymakers.

Khairulbahri, M. (2022). The qualitative analysis of the nexus dynamics in the Pekalongan coastal area, Indonesia. Scientific Reports, 12(1), 11391. https://doi.org/10.1038/s41598-022-15683-9.

Marker, B. R. (2013). Land Subsidence. In P. T. Bobrowsky (Ed.), Encyclopedia of Natural Hazards. Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-1-4020-4399-4.

Kates, R. W., Travis, W. R., & Wilbanks, T. J. (2012). Transformational adaptation when incremental adaptations to climate change are insufficient. Proceedings of the National Academy of Sciences, 109(19), 7156–7161. https://doi.org/10.1073/pnas.1115521109.

Shammi, M., Rahman, Md., Bondad, S., & Bodrud-Doza, Md. (2019). Impacts of Salinity Intrusion in Community Health: A Review of Experiences on Drinking Water Sodium from Coastal Areas of Bangladesh. Healthcare, 7(1), 50. https://doi.org/10.3390/healthcare7010050

Lampiran

Presentasi

terlampir adalah materi akademik tanpa telaah formal keilmuan (non-reviewed) yang diedarkan semata-mata untuk memantik komentar dan diskusi. Oleh karena itu:

N

diedarkannya presentasi ini sifatnya tidak menghalangi publikasi gagasan-gagasan ilmiah di dalamnya di tempat lain

N

Setiap pembuat presentasi/penulis bertanggung jawab atas bentuk dan isi presentasi.

N

Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam presentasi.

N

Hak cipta presentasi dipegang oleh masing-masing penulis.