Sumber Gambar: Flore de Preneuf / World Bank

ARTICLE

Webinar: “Why has gender become a critical axis of climate change?”, oleh Andi M. Pratiwi

Penulis: Dwica Wulandari, PhD Researcher, Univsity of Manchester

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, hubungan antara gender dan perubahan iklim semakin menarik perhatian. Menyadari pentingnya isu ini, Klaster Keilmuan Doctrine UK: Feminism & Development bekerja sama dengan Klaster Perubahan Iklim, mengadakan sebuah diskusi yang menggali lebih dalam tentang peran kritis gender dalam konteks perubahan iklim. Diskusi ini tidak hanya mencerminkan kebutuhan mendesak untuk memahami dan mengatasi dampak perubahan iklim yang beragam, tetapi juga menyoroti bagaimana perspektif gender dapat memberikan wawasan baru dalam mencari solusi yang inklusif dan berkelanjutan.

Dalam webinar yang diorganisir oleh Klaster Keilmuan Doctrine UK: Feminism & Development bersama Klaster Perubahan Iklim, topik yang dibahas adalah “Why has gender become a critical axis of climate change?”. Pembicara utamanya adalah Andi M. Pratiwi, postgraduate researcher di School of Geography University of Leeds. Andi, seorang editor di Indonesian Feminism Journal, aktif dalam advokasi kebijakan responsif gender di tingkat nasional dan telah menjadi peneliti ahli dalam berbagai studi terkait gender, teknologi, lingkungan, dan sosial. Beliau juga merupakan peneliti aktif di Pusat Kajian Gender, Universitas Indonesia.

Diskusi dimulai dengan pemaparan mengenai definisi gender, ketidakadilan berbasis gender, dan kerentanan berbasis gender. Gender adalah konstruksi sosial yang membentuk perbedaan peran dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan gender terjadi ketika terdapat perbedaan perlakuan di masyarakat yang didasari oleh gender. Hal ini menyebabkan perbedaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat antara laki-laki dan perempuan, sehingga cenderung menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Misalnya, ketika perempuan terpilih sebagai pemimpin, seringkali mereka akan dipertanyakan peran sosialnya; dan bukan kapasitasnya sebagai pemimpin. 

Sementara itu, kerentanan gender yang dikaitkan dengan perubahan iklim diartikan sebagai keterpaparan yang membuat manusia rentan terhadap bahaya; dalam hal ini bencana iklim. Dalam diskusi ini, Andi juga memberikan contoh spesifik tentang kerentanan perempuan di wilayah. Misalnya, perempuan harus berjalan kaki 1-3 km untuk mendapatkan air dan menghabiskan hampir 3 jam dalam sehari untuk melakukan tugas ini. Bahkan, sejumlah pemenuhan kebutuhan seperti nutrisi dan akses layanan kesehatan ketika dalam kondisi hamil juga menjadi sulit ketika terjadi bencana akibat perubahan iklim. Selain itu, adanya kombinasi antara faktor ekonomi, kultural dan politik turut membuat perempuan berada pada posisi yang tidak menguntungkan ketika bencana iklim terjadi. Contohnya, perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga dan komunitas. Di Indonesia, hal ini tercermin dalam praktik Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang hanya melibatkan laki-laki sehingga kebutuhan perempuan ketika terjadi bencana tidak dapat tersampaikan. Selain itu, Andi juga memaparkan salah satu hasil penelitiannya terkait peran perempuan dalam menghadapi perubahan iklim pada komunitas pesisir dan nelayan di Indonesia. Beliau memberikan gambaran komprehensif tentang keterkaitan antara isu gender dan perubahan iklim serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari, terutama di komunitas pesisir di Indonesia.

Lebih lanjut, Andi menjelaskan bagaimana gender dan perubahan iklim saling berkaitan, dengan fokus khusus pada pemberdayaan peran perempuan. Dalam diskusi, Andi menekankan adanya tantangan yang masih harus dihadapi untuk mengakui dan mengintegrasikan peran perempuan dalam kebijakan publik, khususnya dalam konteks keberlanjutan dan perubahan iklim. Diskusi ini juga menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan sensitif gender terkait pendidikan hingga kebijakan publik dalam rangka menghadapi tantangan perubahan iklim. Sebagai contoh, pembicara membahas pentingnya data terpilah berdasarkan gender untuk pembuatan kebijakan yang lebih efektif dan adil. Selain itu, Andi turut menyebut bahwa implementasi kebijakan gender dan perubahan iklim di Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan mengingat keragaman infrastruktur di negara kepulauan seperti Indonesia. Sekalipun berbagai instrumen kebijakan sudah tersedia; termasuk pengaruh utama gender dan kebijakan terkait kekerasan seksual, tantangan nyata justru terletak pada operasionalisasi kebijakan ini di berbagai konteks regional dan lokal.

Melalui penelitian dan pengalamannya, Andi membuka mata peserta tentang pentingnya mengintegrasikan perspektif gender dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi ini menekankan bahwa tanpa mengakui dan menghargai peran perempuan, upaya menghadapi perubahan iklim akan menjadi tidak lengkap.

Keterangan:

Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2024-03-24-Articles. Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.