ARTICLE

Penulis : Anggita Leviastuti, PhD student, University of Glasgow

Menjelang perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) Republik Indonesia 2024, Klaster Feminism and Development Doctrine UK menyelenggarakan kegiatan diskusi yang bertajuk “The Strides and Stumbles of Women Parliamentary Candidates” pada tanggal 11 November 2023 pukul 11.00-12.00 GMT melalui Zoom Meeting. Diskusi ini menghadirkan Amirah Kaca Sumarto, seorang mahasiswa doktoral di Blavatnik School of Government, University of Oxford, selaku pembicara serta dimoderatori oleh Rizki Bachtiar, mahasiswa doktoral di School of Politics and International Relation, University of Leeds.

Dalam diskusi, Amirah memaparkan hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 2017 saat menjalani studi magister di London School of Economics and Political Science. Selain itu, Amirah juga memiliki latar belakang di bidang politik dengan berpartisipasi sebagai salah satu kandidat legislatif yang diusung oleh Partai Golkar untuk mewakili provinsi Kalimantan Utara pada Pemilu 2019. Hingga kini, Amirah masih aktif di organisasi Sayap Perempuan Partai Golkar, sembari terlibat dalam aktivitas riset, peningkatan kapasitas, dan advokasi representasi perempuan dalam politik di Indonesia.

Penelitian Amirah berfokus pada refleksi pengalaman pribadi dan juga analisa hasil penelitiannya secara dengan menggunakan metodologi kuantitatif. Ia menjelaskan bahwa penelitiannya dilatarbelakangi oleh amanah Undang-Undang terkait batas minimal 30% representasi perempuan sebagai pelaku politik. Pertanyaannya, apakah demokrasi yang telah diatur secara prosedural juga telah terefleksikan secara substantif? Dengan kata lain, apakah keterwakilan perempuan benar-benar terwujud dengan adanya Undang-Undang yang mensyaratkan minimal partisipasi perempuan dalam dunia politik?

Amirah kemudian menjelaskan model keterwakilan perempuan yang dapat dibedakan menjadi keterwakilan deskriptif dan substantif. Keterwakilan deskriptif berarti keterwakilan yang dapat dilihat dari target angka dan bersifat simbolik sehingga secara langsung dapat menggambarkan degree of acceptance serta equality of opportunity perempuan di politik. Sementara itu, keterwakilan substantif menekankan pada tujuan tujuan yang hendak dicapai. Sebagai contoh, dengan adanya pemimpin perempuan, kebijakan yang dibuat nantinya diharapkan dapat pro terhadap isu-isu dan kepentingan perempuan.

Hingga kini, keterwakilan perempuan di parlemen masih dibawah 30%. Adapun sejumlah kebijakan, program, dan aksi sudah diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan representasi perempuan. Pertama, adanya kebijakan kuota minimum 30% untuk perempuan sebagai calon anggota legislatif. Apabila belum memenuhi persyaratan ini, partai tidak diperkenankan berpartisipasi dalam Pemilu. Kedua, adanya kebijakan Rank Placement Mandate yaitu ketentuan pada kertas suara untuk harus ada satu kandidat perempuan di setiap 3 rank placement. Sebagai contoh, di antara nomor urut kandidat 1-3, salah satunya harus merupakan kandidat perempuan. Ketiga, terdapat kuota gender untuk jajaran pengurus partai. Keempat, adanya kuota gender yang juga berlaku untuk institusi yang bertugas selama pemilihan (Komisi Pemilihan Umum/KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum/Bawaslu).

Sumber: Doctrine, 2023

Meski berbagai kebijakan, program, dan aksi di atas telah dilakukan, data menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan perempuan di legislatif masih lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini mengindikasikan masih adanya sejumlah hambatan untuk mewujudkan representasi perempuan dalam politik. Tantangan tersebut dapat bersifat supply-side yang meliputi hambatan perempuan untuk menjalani dan membangun karier politik serta level dukungan dari partai politik, maupun demand-side yang terkait dengan adanya bias pemilih (voter bias) di dalam masyarakat.

Untuk memperoleh data penelitiannya, Amirah mengumpulkan berkas formulir pendaftaran kandidat dalam rangka membangun dataset dari Pemilu 2014 dan 2019. Dari data ini, Amirah memperoleh profil demografi setiap kandidat beserta suara yang mereka peroleh. Pengolahan data dilakukan menggunakan teknik text mining secara hand-coding, mengingat saat penelitian dilakukan AI (artificial Intelligence) belum berkembang seperti sekarang. Dari formulir pendaftaran kandidat, Amirah berhasil mengumpulkan 6.388 observasi (Pemilu 2014) dan 7.968 observasi (Pemilu 2019) sebagai input untuk model kuantitatif yang digunakan.

Model kuantitatif Amirah menggunakan teknik regresi linier dengan tujuan untuk melihat apakah kandidat perempuan memang lebih tidak dipilih (less preferred) dibandingkan kandidat laki-laki melalui pengujian empiris terhadap tiga variabel. Pertama, vote share yakni proporsi suara yang diperoleh kandidat perempuan terhadap seluruh total suara yang diberikan oleh pemilih di daerah pemilihan yang sama. Kedua, win yakni probabilitas kandidat perempuan untuk memenangi pemilihan. Ketiga, good position yakni penempatan kandidat perempuan di posisi (placement number dan wilayah) yang baik.

Dari hasil penelitiannya, Amirah menemukan masih adanya bias pemilih (voter bias) dimana kandidat perempuan lebih sedikit memperoleh kursi di parlemen (4%) dibandingkan kandidat laki-laki (11%). Karakteristik kandidat seperti latar belakang pendidikan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap success rate kandidat perempuan. Sementara itu, meski incumbency berpengaruh pada kesuksesan kandidat laki-laki, namun hal ini tidak terlalu berpengaruh pada kandidat perempuan. Selain itu, Amirah juga menemukan keterkaitan signifikan antara penempatan nomor urut (placement number) di kertas suara dengan keterpilihan bagi kandidat perempuan. Adapun sayangnya, kandidat perempuan tetap masih diletakkan di posisi nomor urut yang kurang prospektif untuk dipilih. Tetapi, meski kandidat perempuan masih punya tantangan dari placement number di kertas suara, gap-nya mengecil dibandingkan Pemilu 2014. Terakhir, riset Amirah menemukan bahwa kandidat perempuan juga sama persistennya dengan laki-laki. Apabila kandidat gagal di Pemilu 2014, mereka tidak segan untuk mencalonkan kembali di Pemilu 2019.

Kegiatan diskusi ini ditutup dengan membuka kesempatan tanya jawab bagi peserta yang hadir sebelum Amirah menyimpulkan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi dalam mencapai representasi perempuan dalam politik elektoral di Indonesia. Penelitian Amirah mengungkap fenomena bahwa meski sudah tampak adanya kemajuan, perempuan Indonesia masih dihadapkan dengan sejumlah barrier dalam menjadikan politik sebagai pilihan karier. Selain itu, hasil pengujian empiris menunjukkan terdapat variasi di level provinsi dan kota terkait keterwakilan perempuan dan barrier partisipasi perempuan. Sejumlah rekomendasi turut disampaikan terkait intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi barrier, antara lain melalui capacity building, dukungan pendanaan, dan advokasi di level partai politik; terutama apabila mempertimbangkan bahwa barrier signifikan lebih banyak berasal dari sisi supply. Terakhir, Amirah juga menyatakan bahwa intervensi yang hingga kini belum pernah dilakukan; seperti reserved seats, juga dapat menjadi upaya efektif untuk mewujudkan representasi gender. Adapun upaya ini menuntut komitmen penuh Partai Politik untuk tidak hanya melakukan reformasi, tetapi juga melakukan reformasi tersebut dengan cepat.

Keterangan:

Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2024-03-23-Articles. Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.