Sumber: pexels.com

Penulis: Rama Permana, Mahasiswa Doktoral bidang Sustainable Tourism Transport, Bournemouth University – Peneliti di Center for Policy and Public Management SBM ITB, Jakarta

ARTICLE

Pertemuan COP26 pada akhir tahun 2021 lalu mendorong negara-negara untuk memensiunkan batu bara, mengurangi deforestasi, mempercepat transisi kendaraan listrik, dan mendorong investasi di bidang energi terbarukan. Di tahun yang sama, International Energy Agency (IEA) merilis laporan peta jalan emisi net zero dunia yang ditargetkan untuk tercapai pada tahun 2050. Presiden Joko Widodo sebelumnya juga mengumumkan target net zero Indonesia akan tercapai pada tahun 2060. Tetapi, bagaimana target-target untuk menjaga kenaikan suhu global di 1,5 derajat Celsius ini dapat dicapai di Indonesia? Bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), IEA kembali merilis laporan peta jalan net zero khusus untuk Indonesia pada September 2022 lalu dengan tiga pilar jangka pendek; listrik terbarukan, elektrifikasi transportasi, dan efisiensi energi. Namun, pilar-pilar tersebut cukup menantang untuk diwujudkan.

Listrik Terbarukan

Tantangan pertama datang dari listrik terbarukan yang membutuhkan kenaikan signifikan terkait bauran Energi Baru Terbarukan (EBT).

Dalam visi Indonesia 2045 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebelum pandemi, target bauran EBT nasional pada tahun 2050 adalah 31%. Hingga akhir tahun 2021, capaian bauran EBT masih 12%, jauh dari target sebesar 23% pada tahun 2025. Bauran energi berbasis batu bara mendominasi Indonesia sehingga proses coal phase-out menjadi sangat menantang.

Lanskap bisnis kelistrikan di Indonesia juga berdasarkan wilayah usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2009. Perusahaan dengan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dalam satu wilayah memiliki hak tunggal menjual listrik kepada konsumen. Dengan dominasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai penjual listrik, maka langkah mereka sangat menentukan kecepatan transisi listrik terbarukan.

Kondisi permintaan listrik kini berada di bawah estimasi pertumbuhan periode sebelumnya (over supply). Hal ini ditandai dengan diturunkannya asumsi pertumbuhan permintaan listrik tahunan dari 6,4% pada 2019 menjadi 4,9% berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030. Skenario low carbon juga diklaim akan menaikkan kebutuhan subsidi dan kompensasi sekitar 50%. Di sisi lain, konsumen residensial adalah penyumbang 42% pendapatan PLN. Padahal, permintaan listrik diproyeksikan naik berkali-kali lipat dan bisa ditopang dengan strategi desentralisasi pembangkit, salah satunya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Tetapi, aturan teknis bagi residensial masih simpang siur, seperti pembatasan kapasitas PLTS Atap relatif terhadap kapasitas maksimalnya. Aturan teknis pun masih terus berubah dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 49 Tahun 2018, Permen No. 13 dan 16 Tahun 2019, dan yang terkini Permen ESDM No. 26 Tahun 2021. Padahal, aturan mengenai penggunaan jaringan listrik bersama (power wheeling) sudah ada sejak lama, mulai dari Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 dan No. 23 Tahun 2014 serta Permen ESDM No. 1 Tahun 2015.

Nilai investasi energi terbarukan global dalam rentang 2013-2018 sudah mencapai lebih dari 300 miliar dolar AS dengan lebih dari 40% berbasis solar photovoltaic (PV) disusul pembangkit listrik berbasis tenaga angin. Pemanfaatan solar PV juga menjadi potensi di Indonesia karena paparan matahari yang cukup baik dibanding kecepatan angin yang rendah menurut National Renewable Energy Laboratory pada 2020. Sementara ini, penyediaan listrik terbarukan secara mandiri bisa dilakukan oleh sektor bisnis seperti yang dicontohkan Angkasa Pura 2 di Bandara Soekarno Hatta. Inisiatif ini dapat diikuti oleh perusahaan lain, terutama yang tergabung dalam Renewable Energy 100 (RE100). Pihak-pihak terkait juga perlu lebih memudahkan proses Power Purchase Agreement (PPA) agar lebih efisien. Daerah lain yang belum terelektrifikasi atau belum ada pemilik wilayah usahanya bisa didorong langsung menggunakan listrik terbarukan. Adapun skema Direct PPA dapat dipertimbangkan untuk menarik minat perusahaan RE100 lain agar berlokasi di Indonesia.

Nilai investasi energi terbarukan global dalam rentang 2013-2018 sudah mencapai lebih dari 300 miliar dolar AS dengan lebih dari 40% berbasis solar photovoltaic (PV) disusul pembangkit listrik berbasis tenaga angin. Pemanfaatan solar PV juga menjadi potensi di Indonesia karena paparan matahari yang cukup baik dibanding kecepatan angin yang rendah menurut National Renewable Energy Laboratory pada 2020. Sementara ini, penyediaan listrik terbarukan secara mandiri bisa dilakukan oleh sektor bisnis seperti yang dicontohkan Angkasa Pura 2 di Bandara Soekarno Hatta. Inisiatif ini dapat diikuti oleh perusahaan lain, terutama yang tergabung dalam Renewable Energy 100 (RE100). Pihak-pihak terkait juga perlu lebih memudahkan proses Power Purchase Agreement (PPA) agar lebih efisien. Daerah lain yang belum terelektrifikasi atau belum ada pemilik wilayah usahanya bisa didorong langsung menggunakan listrik terbarukan. Adapun skema Direct PPA dapat dipertimbangkan untuk menarik minat perusahaan RE100 lain agar berlokasi di Indonesia.

Elektrifikasi Transportasi

Beralih dari sisi hulu, sejumlah Permen keluar di sisi hilir sebagai kelanjutan dari Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Transisi menuju transportasi bertenaga listrik berpotensi menghemat subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga ratusan triliun rupiah.

Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia juga berpeluang menjadi produsen kendaraan listrik. Namun, perkembangan jumlah kendaraan listrik masih cenderung pada kendaraan pribadi. Sebagai negara berkembang yang masih menghadapi banyak kemacetan karena infrastruktur publik yang belum memadai, terutama jika dibandingkan secara relatif terhadap pertumbuhan populasinya, pemerintah semestinya fokus pada revitalisasi transportasi umum.

Setelah dinaikkannya harga BBM awal September lalu, jumlah penumpang Kereta Rel Listrik naik dibandingkan bulan sebelumnya, baik di hari kerja (15%) maupun akhir pekan (7%). Ini membuktikan bahwa transportasi umum menjadi salah satu bantalan sosial masyarakat yang efektif. Negara-negara maju sudah lebih dahulu mengalihkan subsidi BBM untuk subsidi transportasi umum, seperti misalnya Tiongkok di tahun 2015.

Pada pertengahan Oktober 2022 lalu, Indonesia baru saja melampirkan dokumen biennial assessment dalam situs United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Salah satu program yang ditunjukkan adalah green sukuk untuk sustainable transport. Mengacu pada hierarki sustainable transport, kebijakan transportasi nasional juga seharusnya memprioritaskan pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor, termasuk yang inklusif terhadap disabilitas, kemudian transportasi umum, dan baru kemudian kendaraan pribadi dan moda yang tinggi emisi karbonnya. Indonesia tetap bisa menjadi bagian dari rantai nilai produsen kendaraan listrik dunia, tanpa harus terbebani dengan dampak subsidi dan kemacetan. Dengan demikian, pilar terakhir yaitu efisiensi energi pun dapat dipenuhi. Pada akhirnya, Indonesia tetap dapat mengambil peran dalam transisi ini pada COP27 mendatang tanpa harus terjebak dalam ratusan triliun subsidi energi setiap tahunnya.

***

*)Artikel ini adalah aset pengetahuan organisasi Doctrine UK dengan nomor registrasi 2022-11-10-Articles. 

Lampiran

Presentasi

terlampir adalah materi akademik tanpa telaah formal keilmuan (non-reviewed) yang diedarkan semata-mata untuk memantik komentar dan diskusi. Oleh karena itu:

N

diedarkannya presentasi ini sifatnya tidak menghalangi publikasi gagasan-gagasan ilmiah di dalamnya di tempat lain

N

Setiap pembuat presentasi/penulis bertanggung jawab atas bentuk dan isi presentasi.

N

Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam presentasi.

N

Hak cipta presentasi dipegang oleh masing-masing penulis.