Sumber: Andrea Leopardi, https://unsplash.com/@whatyouhide
PhD Life Hack
Penulis: Ibnu Nadzir, Mahasiswa Doktoral Bidang Anthropology, University College London
“If you’re going to while away the years, it’s far better to live them with clear goals and fully alive than in a fog, and I believe running helps you do that.“
(Haruki Murakami), Huffington Post
Di usia tiga puluh tiga, laki-laki itu sedang di persimpangan jalan hidupnya. Selama tujuh tahun terakhir ia menghabiskan waktunya mengelola sebuah kafe dan bar Jazz di sudut kota Tokyo. Namun, ia memutuskan akan kembali menekuni secara total pilihan untuk menjadi penulis profesional. Pilihan yang mewajibkan dirinya untuk duduk berjam-jam di depan meja menuangkan fiksi dari kepalanya ke dalam tulisan. Untuk menjaga kondisi fisiknya, ia pun memutuskan untuk mulai berlari. Setidaknya enam hari dalam sepekan, ia bangun pukul 5 pagi untuk kemudian berlari sejauh sepuluh kilometer. Kebiasaan ini belakangan diakui penulis tersebut telah menjadi fondasi penting bagi karirnya. Ia adalah Haruki Murakami, penulis Jepang yang sekarang telah diakui sebagai salah satu sastrawan modern paling berpengaruh di dunia.
Cerita soal Murakami pertama saya dengar dari seorang kawan, beberapa pekan ketika saya juga mulai mengadopsi lari di sela keseharian saya sebagai mahasiswa doktoral baru. Kebetulan kawan tersebut juga sedang bergelut dengan studi doktoralnya dan ia terinsipirasi pada disiplin Murakami dalam menulis.
Meskipun pernah bersentuhan dengan novelnya, saya tidak pernah punya bayangan sebelumnya bahwa lari –aktivitas yang baru saya geluti– punya andil besar dalam proses kreatif Murakami. Bahkan ia pun secara khusus menceritakan peran penting lari dalam memoirnya yang berjudul, “What I Talk When I Talk About Running.” Peran krusial tersebut sedikit banyak mulai saya pahami ketika saya sendiri memulai lari.
Pemeliharaan Kapasitas Kognitif
Mens sana in corpore sano, pikiran yang sehat di dalam tubuh yang kuat. Ungkapan Yunani ini rasanya jadi ujaran paling klise untuk mengajak orang ikut berolahraga. Namun, penelitian-penelitian modern menemukan bahwa ujaran ini mengandung kebenaran. Kajian neurosains dan psikologi menunjukkan bahwa aktivitas fisik, khususnya berlari, punya andil besar dalam pemeliharaan dan penguatan kapasitas kognitif.
Dengan melakukan percobaan pada tikus, Cotman and Engesser-Cesar (2002) menunjukkan bahwa lari meningkatkan dan melindungi fungsi-fungsi kognitif. Sementara, Brené et al. (2007) menunjukkan potensi dari aktivitas berlari sebagai salah satu sumber yang dapat mengobati gejala depresi. Senada dengan kajian-kajian sebelumnya, Vivar and Van Praag (2017) juga menemukan bahwa aktivitas lari punya andil terhadap perkembangan neuron-neuron baru pada otak.
Berhubung riset-riset tersebut bukan bidang studi yang saya geluti, penting untuk menyampaikan bahwa pembacaan saya datang dari kaca mata yang sangat awam. Masing-masing riset ini juga memiliki keterbatasannya masing-masing. Namun, penelitian-penelitian tersebut adalah bagian dari korpus pengetahuan berkembang yang menunjukkan pentingnya aktivitas lari bagi pemeliharaan otak. Pelari rutin juga kemungkinan akan sulit membantah temuan-temuan tersebut. Para pelari kerap menemukan perasaan bahagia yang muncul setelah berlari jauh. Perasaan tersebut dapat dijelaskan melalui mekanisme tubuh yang aktif memproduksi endorfin setelah aktivitas fisik seperti berlari (Markoff, Ryan and Young, 1982). Sementara, hormon ini punya andil yang besar dalam memproduksi rasa senang yang dirasakan manusia.
Bagi sebagian pelari, rasa senang ini bahkan merasakan euforia menyerupai orang yang mengonsumsi obat-obatan (Boecker et al., 2008). Fenomena-fenomena ini membuat Raichlen et al. (2012) mengajukan hipotesis bahwa manusia, seperti beberapa jenis hewan, termasuk dalam jenis mamalia yang secara evolutif memiliki tubuh yang dirancang untuk berlari. Eratnya kelindan aktivitas lari dengan kapasitas kognitif menjadikannya relevan untuk semua orang, termasuk mahasiswa doktoral yang amat mengandalkan kemampuan otak untuk berpikir jernih.
Langkah Kecil Untuk Tujuan Jauh
Di samping penjelasan ilmiah soal fungsi lari, kegiatan ini jadi penting bagi saya karena prosesnya yang menyerupai proses doktoral. Sebuah kedekatan yang saya temukan bahkan ketika saya masih sangat pemula baik dalam hal lari maupun studi doktoral. Kesamaan pertama yang saya temukan adalah pentingnya membangun langkah-langkah kecil secara rutin untuk mencapai tujuan yang jauh. Ketika saya berlari, seberapapun jauh tujuannya, 5 km, 10 km, atau maraton penuh sejauh 42 km tidak akan dapat ditempuh jika saya tidak membentuk kebiasaan berlari secara rutin. Kebiasaan rutin ini hanya dapat dilakukan dengan memulai langkah-langkah kecil yang akan menjadi fondasi baik untuk membangun stamina berlari lama atau menempuh jarak yang jauh.
Kebiasaan ini amat relevan untuk kerja-kerja penulisan terutama yang bersifat panjang seperti jurnal, buku, juga disertasi. Tulisan yang baik dibangun dari kerja sabar penulisnya yang dibangun secara rutin. Setidaknya itu amatan yang saya lihat dari rekan-rekan saya yang aktif dalam memproduksi tulisan akademik yang baik. Kebiasaan ini, sama dengan berlari, masih terus coba saya praktikkan sendiri.
Dalam produksi tulisan, sesekali saya mungkin dapat mengambil jalan pintas dengan mengerjakan tulisan mepet tenggat waktu. Namun, tulisan tersebut hampir pasti tidak optimal. Selain itu, kondisi otak dan tubuh juga akan sangat lelah dan kemudian berpengaruh pada kesehatan. Demikian juga dengan berlari, pada mulanya saya kerap memaksakan diri mencapai jarak yang jauh atau waktu yang lama tanpa mengukur kemampuan tubuh. Target tersebut mungkin tercapai namun dengan efek samping yang tidak saya harapkan. Tubuh yang dipaksa bekerja melebihi kemampuannya jadi cedera yang menjadikan saya tidak dapat berlari selama beberapa waktu.
Proses lari dan menulis dengan demikian jadi pelajaran bagi saya untuk lebih jujur pada diri sendiri, mengevaluasi kemampuan untuk mencapai target yang dituju.
Pengalaman cedera juga menunjukkan kesamaan lain antara studi doktoral dengan proses lari. Ketika saya baru memulai lari, saya membayangkan pencapaian-pencapaian yang akan saya penuhi setiap minggunya. Mulai dari jarak yang akan terus bertambah, sampai dengan kecepatan lari dalam menempuh jarak tersebut. Jika dibandingkan, statistik lari saya hari ini jauh lebih baik dari awal. Jarak yang saya tempuh dua atau tiga kali lipat lebih jauh. Walaupun perlahan, saya juga mulai mampu mengelola nafas dan detak jantung yang lebih efisien. Tapi perkembangan tersebut sama sekali bukan proses yang linear. Pengalaman cedera tadi misalnya, mengharuskan saya untuk fokus pada pemulihan. Setelahnya saya juga harus memulai lagi pembelajaran lari dengan pola yang lebih baik.
Perjalanan studi doktoral saya bayangkan juga tidak akan menjadi perjalanan yang linear. Ada beragam isu yang harus dikelola apakah itu sifatnya akademik, personal dan mungkin hal-hal lainnya. Persoalannya kemudian, seperti lari, seberapa mampu saya belajar dari masalah-masalah yang telah saya temui?
Dalam hal ini menjadi penting bagi saya untuk terus mengevaluasi diri sambil tetap bersyukur pada pencapaian-pencapaian kecil.
Evaluasi akan membantu saya memperbaiki cara mencapai tujuan-tujuan lari maupun studi. Rasa syukur pada pencapaian kecil akan menguatkan saya untuk tetap melangkah. Penambahan langkah sejauh dua ratus meter; selesai membaca satu referensi; postur tubuh yang baik; menuntaskan satu paragraf tulisan, adalah beberapa hal yang saya coba syukuri setiap harinya. Dengan melalui proses ini, saya berharap pada waktu yang baik dapat menyelesaikan tujuan yang hari ini nampak jauh di depan.
Penutup
Sejak memilih jalan sebagai penulis, Murakami sudah menerbitkan karya sastra yang diakses pembaca di berbagai penjuru dunia. Karya-karya tersebut juga telah berkali-kali mendapatkan berbagai penghargaan sastra. Yang menarik, Murakami juga tidak berhenti sekadar menjadi pelari di lingkungan terdekat. Meskipun tidak menjadi atlet profesional, ia telah mengikuti beberapa lomba lari bahkan sampai dengan ultra-maraton (100 km). Di samping itu, Murakami juga mengikuti ajang triatlon yang memperlombakan lari jarak jauh, renang, renang dan bersepeda sekaligus.
Pencapaian-pencapaian itu diawali Murakami dari alasan sederhananya yang ingin hidup lebih sehat. Pada akhirnya mungkin memang tidak butuh alasan besar bagi seseorang untuk memulai lari. Bahkan seingat saya, sebelum kesadaran soal fungsi kognitif, atau kesamaan dengan proses studi doktoral, saya berlari sekadar ingin menikmati taman dan udara segar yang memang dapat diakses bebas di London. Alasan sederhana yang lebih dari cukup untuk saya memulai lari.
***
Referensi:
Boecker, H. et al. (2008) ‘The runner’s high: Opioidergic mechanisms in the human brain’, Cerebral Cortex, 18(11), pp. 2523–2531. doi: 10.1093/cercor/bhn013.
Brené, S. et al. (2007) ‘Running is rewarding and antidepressive’, Physiology and Behavior, 92(1–2), pp. 136–140. doi: 10.1016/j.physbeh.2007.05.015.
Cotman, C. W. and Engesser-Cesar, C. (2002) ‘Exercise enhances and protects brain function’, Exercise and Sport Sciences Reviews, 30(2), pp. 75–79. doi: 10.1097/00003677-200204000-00006.
Markoff, R. A., Ryan, P. and Young, T. (1982) ‘Endorphines and Mood Changes in Long-Distance Running’, Medicine and Science in Sports and Exercise, 1, pp. 11–15.
Raichlen, D. A. et al. (2012) ‘Wired to run: Exercise-induced endocannabinoid signaling in humans and cursorial mammals with implications for the “runner’s high”’, Journal of Experimental Biology, 215(8), pp. 1331–1336. doi: 10.1242/jeb.063677.
Vivar, C. and Van Praag, H. (2017) ‘Running changes the brain: The long and the short of it’, Physiology, 32(6), pp. 410–424. doi: 10.1152/physiol.00017.2017.
Keterangan:
Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2022-11-19-PLH.
Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.